![]() |
Humas & Kabiro Hukum MA, Abdullah |
Jakarta, Info Breaking News - Gugatan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 20 tahun 2018 di Mahkamah Agung (MA) tidak akan disidangkan dalam waktu dekat ini, dan dari enam permohonan gugatan, seluruhnya masih tertahan di kepaniteraan MA.
Dr. Abdullah,.S.H., M.S. selaku Kepala Biro Humas Mahkamah Agung, menjelaskan pihaknya masih menunggu hasil dari putusan uji materi undang-undang Pemilu, baik pasal tentang ambang batas pengajuan Presiden, Parlemen, dan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yang saat ini masih disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Meskipun secara konteks gugatan pemohon ke MA berbeda dengan undang-undang yang sedang diuji di MK, Abdullah mengatakan hal itu sudah menjadi prinsip.
![]() |
Wapemred Info Breaking News, Hoky Bersama Awak Media Lainnya Melihat Berkas Para Caleg di MA |
Lebih lanjut Abdullah menyampaikan; "Sementara ini istilahnya belum bisa diteruskan masih di kepaniteraan dan kami menunggu putusan MK. Prinsipnya kalau undang-undang masih 1 pasal belum diputuskan berarti undang-undang yang di sini masih kurang 1 pasal. Sama seperti Rp 1.000 kurang Rp 1 tetap tidak bisa dikatakan Rp 1.000, jadi kami saat ini masih menunggu hasil keputusan MK mengenai uji materi undang-undang Pemilu dan belum bisa memastikan kapan permohonan para penggugat PKPU bakal disidang." ujar Abdullah di Ruang Media Center MA, Jumat (27/7).
Merujuk dengan proses di MK, maka kapanpun uji materi telah diputuskan, pihaknya akan segera menindaklanjuti permohonan tersebut dengan segera menggelar sidang. Abdullah juga menginformasikan bahwa batas putusan Hakim Agung terhadap gugatan tersebut hanya 14 hari.
"Sehingga apabila berkas tersebut telah dikirim ke Majelis Hakim maka Majelis Hakim terikat dengan jangka waktu 14 hari kerja harus memutuskannya, agar supaya 14 hari kerja waktu yang diberikan ke Majelis Hakim berjalan, maka berkas berhenti dulu di kepaniteraan karena kalau diajukan ke Majelis Hakim sementara undang-undang yang diuji ke MK 14 hari ini tetap berjalan dan harus diputus," pungkasnya.
Hingga saat ini sudah ada enam pemohon yang disebutkan Abdullah telah mengajukan gugatan terhadap PKPU nomor 20 tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi, asusila, narkoba mencalonkan diri sebagai legislatif baik itu di DPD, DPRD, ataupun DPR.
Mantan politisi NasDem Patrice Rio Capella juga mengajukan gugatan atas PKPU tersebut meski dia mengklaim tidak mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Dia berdalih, alasannya mengajukan gugatan karena merasa KPU telah merampas hak politik para narapidana. Karena menurutnya, dalam putusan hakim tidak mencabut hak politik mereka.
Secara terpisah Ahmad Syafii Maarif selaku Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta dan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, mengatakan; "Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan narapidana korupsi dilarang menjadi calon legislator (caleg) harus didukung, Karena meskipun mereka sudah menjalani pidananya, orang itu sudah cacat, masak tidak ada orang lain yang lebih baik. Pelarangan KPU itu sudah tepat terlebih lagi bangsa Indonesia harus maju dan terbebas dari korupsi.
Syafii Maarif menambahkan, "Meski ada orang yang menolak dengan alasan melanggar hak asasi, mohon dalam kasus ini kita jangan berbicara hak asasi manusia, Sebab yang terpenting bangsa Indonesia ini harus mencari orang yang terbaik untuk menjadi wakil rakyat, sehingga kalaupun ada yang berwacana untuk meniadakan peraturan itu, mohon masyarakat mengujinya secara ilmiah. Lagi pula, sungguh tak etis kalau orang yang pernah dipenjara karena terbukti korupsi ternyata diterima sebagai caleg, itu namanya 'Keblinger' kalau masih saja ada yang mau jualan mantan napi korupsi," ujarnya. *** Hoky,