Terkait Tekanan Persidangan Ahok Sejumlah Alumni Harvard Ajukan Petisi

Todung Mulya Lubis
Jakarta, Info Breaking News - Sejumlah alumni Universitas Havard menyerahkan petisi kepada Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu (3/5). Petisi yang digagas oleh 26 inisiator dan sudah ditandatangani lebih dari 10.000 masyarakat ini terkait perkara dugaan penistaan agama yang dihadapi Basuki Tjahaja Purnama.
"Saya mewakili 26 inisiator penitisi kepada Ketua Pengadilan Jakarta Utara terkait kasus dugaan penistaan agama yang disematkan kepada Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Tapi selain 26 inisiator ini ada 10.000 lebih yang menandatangani petisi ini dan akan ditandatangani lebih banyak lagi oleh warga yang concern dengan penegakan hukum," kata pakar hukum, Todung Mulya Lubis yang mewakili para alumni Universitas Harvard, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu (3/5).
Todung mengungkapkan, mulanya, pihaknya enggan menyampaikan petisi tersebut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hal ini lantaran pihaknya khawatir petisi tersebut terkesan mengintimidasi majelis hakim.
"Kami bukan pihak. Sebetulnya kami agak enggan awalnya untuk masuk dan menulis petisi ini dan kami tak mau ditafsirkan melakukan intervensi dalam proses hukum yang sedang berjalan ini," tegas Todung.
Dikatakan, dalam keadaan normal, petisi seperti ini tak dapat dilakukan. Namun, Todung mengatakan, persidangan perkara dugaan penistaan agama dinilai sudah tidak normal karena banyaknya intimidasi dan mobilisasi. Untuk itu, petisi ini harus diserahkan kepada Kepala PN Jakut.
"Dalam keadaan normal, tidak boleh ada petisi seperti ini disampaikan kepada pihak pengadilan. Karena itu bisa ditafsirkan sebagai intervensi. Tapi peradilan kasus Basuki Tjahaja Purnama sudah memasuki tahap-tahap yang tidak normal. Kenapa, begitu banyak mobokrasi, begitu banyak intimidasi, begitu banyak tekanan yang dilakukan," jelasnya.
Menurutnya, dengan intimidasi, dan mobilisasi, proses persidangan sudah tidak obyektif. Majelis Hakim pun berada dalam posisi yang sulit untuk memutuskan perkara ini.
"Ini adalah sebagai alasan kenapa kita menulis petisi ini. Dan diharapkan bisa disampaikan ke majelis yang kebetulan juga ketua PN," tegas Todung.
Salah seorang alumni Havard, Dini Purwono, menegaskan, petisi tersebut tidak bertujuan untuk mendukung pihak-pihak tertentu. Ditegaskan, pihaknya hanya mendukung penegakan keadilan. Pihaknya tak rela jika ruang pengadilan dijadikan legitimasi pihak tertentu melakukan tekanan dengan mengerahkan massa.
"Kita tak rela juga, ruang pengadilan kita dijadikan legitimasi kepentingan pihak tertentu dengan segala tekanan massa. Dan kenapa juga penting, kasus ini juga fenomenal dan ke depan ini bisa jadi landmark case. Dimana, putusan dalam kasus ini akan menjadi acuan. Jadi penting sekali mendapatkan putusan yang tepat dan tidak salah," jelas Dini.
Petisi yang juga dimuat dalam laman change.org ini terdiri dari delapan poin. Kedelapan poin itu, yakni:
1. Dalam tuntutan JPU jelas bahwa Ahok sebagai terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana penistaan agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 156a KUHP, sehingga oleh JPU pasal penistaan agama itupun akhirnya TIDAK digunakan.
2. Namun demikian, JPU tetap menyatakan bahwa Ahok memenuhi unsur pidana pasal 156 KUHP dan karenanya Ahok dituntut hukuman pidana 1 (satu) tahun penjara dengan masa percobaan 2 (dua) tahun.
3. Berdasarkan pembacaan kami atas pasal 156 KUHP, dengan jelas dapat disimpulkan bahwa unsur terpenting yang harus dipenuhi dalam tindak pidana ini adalah tindakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia atas dasar ras,negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Yang seringkali kita sebut sebagai isu SARA.
4. Dari bukti-bukti dan keterangan yang disampaikan dalam persidangan, jelas bahwa dalam pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016 tidak ada pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu golongan rakyat Indonesia tertentu atas dasar SARA.
5. Dalam konteks kalimat "dibohongi pakai surat Al-Maidah 51" saksi ahli dalam persidangan telah menyatakan bahwa Ahok merujuk kepada oknum politik yang menggunakan ayat tersebut untuk menjegal lawannya dalam suatu persaingan elektoral, dan bukan merujuk kepada umat Islam. Dengan demikian kami tidak melihat bahwa unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 156 KUHP dalam hal ini terpenuhi.
6. Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dan karenanya selayaknya supremasi hukum ditegakkan. Ruang pengadilan adalah tempat dimana seharusnya kebenaran dan keadilan berdiri, dan bukan sekedar menjadi ruang justifikasi dan legitimasi atas mobokrasi.
7. Bahwa suatu proses peradilan yang baik akan berpegang teguh pada rasa keadilan dan tidak menyimpang dari filosofi/tujuan yang sesungguhnya dari suatu pemidanaan sebagaimana dimaksud oleh pembuat undang-undang.
8. Besar harapan kami agar Majelis Hakim memutus perkara ini dengan seadil-adilnya berdasarkan semua bukti dan keterangan yang telah disampaikan dalam persidangan, hati nurani serta keyakinan majelis hakim, agar dari persidangan ini dapat lahir satu putusan pengadilan yang tepat dan terhormat dalam sejarah putusan pengadilan di Indonesia sehingga dapat menjadi preseden yang baik untuk kasus serupa.*** Candra Wibawanti.

Subscribe to receive free email updates: