Kolom Nasinal - Jakarta - Kuah mie instan itu masih tertahan di bibir mangkok. Sendok yang menampungnya tak jadi terangkat ketika tiba-tiba seorang kawan datang sambil bertanya, "Kamu nggak kepikiran bahwa ada kekuatan besar yang menggerakkan hoax?"
Sebuah pertanyaan sederhana, namun berat. Sederhana, karena memang pertanyaan itu dilontarkan di sebuah warung kopi pinggir jalan yang tak habis Rp 20 ribu sekali jajan. Pertanyaan itu pun bukan hal baru, karena memang akhir-akhir ini marak sekali kabar hoax alias bohong berseliweran.
Sebuah berita terbitan masa lalu dipotong kemudian disebarkan secara berantai ke WhatsApp Grup atau media sosial. Berita basi itu pun seolah baru saja terjadi.
Pertanyaan kawan tersebut menjadi berat lantaran datang dari seorang alumnus salah satu universitas ternama di Jakarta yang juga lulusan Nangyang University. Kalau pun harus menjawab, saya wajib melampirkan dalil yang kuat. Padahal malam itu saya hanya ingin ngobrol ringan sambil menyantap mie instan dan kacang rebus.
Seperti tahu apa yang sedang saya pikirkan, sang kawan tersebut menjawab sendiri pertanyaannya. Menurut dia, beredarnya aneka hoax yang kian santer sejak dimulainya tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada pertengahan 2016 lalu sudah tak wajar.
Mustahil, kata dia, kabar bohong itu hanya digerakkan oleh pendukung tiga kubu pasangan yang bertarung ketika itu untuk semata meraih kemenangan di DKI. Memang, perang hoax itu terjadi di putaran pertama kemudian kian santer di tahapan kedua Pilgub DKI. Namun, selepas gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang baru terpilih, nyatanya hoax masih terus berseliweran.
Kalau pun kemudian kabar hoax ini sekadar tujuan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden 2019, dia juga menilai hal itu tak lumrah. Artinya, dia melanjutkan, ada misi khusus dari si penyebar hoax tersebut selain Pilgub DKI, atau Pilpres 2019 nanti.
Sang kawan menghentikan kalimatnya saat pesanan makanan dan minumannya datang dan separuh mie instan saya sudah tandas. Sambil menyantap bubur ayam yang dia pesan, sang kawan melanjutkan analisisnya. Dalam prediksinya, ada kekuatan besar yang memang ingin memecah belah bangsa ini dengan cara menyebarkan hoax.
Dia yakin kekuatan tersebut bukan dari dalam negeri. Tentunya, bukan tanpa sebab dan tujuan tertentu ketika si pemilik kekuatan besar itu ingin mengacaukan Indonesia. Namun, sang kawan itu tak mau menyebut identitas dan maksud dari mereka menyebarkan hoax di Indonesia.
Tampaknya dia juga ingin membatasi diskusi malam itu pada bagaimana membendung hoax di era milineal, bukan mencari siapa yang salah. Mungkin dia sadar bahwa di warung ini banyak sopir bajaj, pengemudi ojek online yang juga menyimak obrolan kami.
Syukurlah, karena kalau dia sampai bicara sejarah hoax dan fenomena dari abad ke abad bisa tak tuntas malam ini bahkan sampai warung tutup. Dia hanya menyebut bahwa di era sekarang ini berita hoax lebih banyak disebarkan melalui jejaring sosial ketimbang media cetak atau konvensional.
Beberapa media massa pun kadang terjebak, demi menjadi yang tercepat mengabarkan kadang lupa mengklarifikasi kabar yang awalnya tersebar di jejaring sosial. Walhasil, di era multimedia sekarang ini hoax menjadi satu hal yang sangat mengkhawatirkan karena persebarannya yang terbilang sangat mudah dan cepat.
Hoax terjadi di semua bidang seperti: politik, sains, ekonomi, sosial, hiburan bahkan budaya. Jumlanya pun tak lagi bisa dihitung.
Dia terdiam sejenak. Sambil membetulkan letak kacamatanya, dia ambil tisu untuk mengelap keringat dan air mata karena kepedasan. Tak lama kemudian dia melanjutkan. Kali ini dia langsung pada pokok pemecahan persoalan, 'Bersatu Melawan Hoax'.
Berulang kali dia menggelengkan kepala dan mengaku prihatin. Rakyat yang biasa selalu hidup rukun, kini gampang tersulut emosi. Mereka gampang 'berkelahi' dan mencaci maki untuk sesuatu yang belum tentu dipahami tujuan dan skenario besar di baliknya.
Hal-hal sepele yang ringan tak jarang diperdebatkan untuk jangka waktu yang panjang. Energi anak negeri ini habis untuk membahas kabar hoax yang kadang sampai memutuskan tali persahabatan, setidaknya di media sosial.
Potensi perpecahan ini, kata dia, harus segera dicegah. Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu pemuka agama sangat tepat. Selanjutnya pemerintah juga harus bertemu dengan tokoh organisasi kemasyarakatan dan pimpinan partai politik. Mereka harus disadarkan untuk bersama-sama menjaga persatuan dan kesatuan.
Pimpinan organisasi kemasyarakatan, elite partai politik bisa mengimbau anggotanya untuk tidak sembarangan menyebar kabar berantai yang belum teruji kebenarannya. Khususnya berita-berita yang berpotensi menyinggung orang lain dan memicu pertikaian.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga harus lebih sigap dan cekatan dalam 'membendung' berita-berita hoax yang tersebar di media sosial agar tak memicu perselisihan. Pegiat media sosial bisa digandeng untuk bersama-sama meluruskan berita hoax.
Sudah saatnya para petinggi, pejabat negara pemuka agama dan tokoh masyarakat bersatu melawan hoax. Negara tak boleh kalah dengan hoax!