Ranking 1 di Sumut, Kasus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa

Ranking 1 di Sumut, Kasus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa HorasSumutNews.com - Berita Terkini Terbaru Hari Ini - Komisi Pemberantasan Korupsimemberikan tanda merah untuk Sumatera Utara, namun praktik korupsi terus terjadi. Berulangnya permasalahan korupsi di Sumut tidak lain karena di provinsi ini begitu kuat intervensi dalam hal perencanaan kegiatan dan penganggaran.

HorasSumutNews.com - Berita Terkini Terbaru Hari Ini -  Komisi Pemberantasan Korupsimemberikan tanda merah untuk Sumatera Utara, namun praktik korupsi terus terjadi. Berulangnya permasalahan korupsi di Sumut tidak lain karena di provinsi ini begitu kuat intervensi dalam hal perencanaan kegiatan dan penganggaran.

Sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) serta bantuan dana hibah dan sosial adalah lahan basah dikorupsi.
Koordinator Divisi Monitoring Korporasi Sentra Advokasi untuk Hak Pendidikan Rakyat (Sahdar) David Jaka Handara mengatakan, dari banyaknya kasus korupsi yang terungkap, PBJ menduduki ranking satu mulai 2011 hingga 2016.
Sebanyak 367 perkara PBJ disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, diikuti dengan perkara non-PBJ sebanyak 175 perkara.
Di urutan kedua, sektor pendapatan sebanyak 45 perkara, 10 perkara merupakan kasus suap atau gratifikasi, dan terakhir diikuti sektor pelayanan umum sebanyak tujuh perkara.
"Pengungkapan ini bukan karena hebatnya penegak hukum atau partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi, tapi karena sektor belanja lebih mudah diawasi dari pada sektor pendapatan," kata David, Jumat (9/12/2016).
David mengatakan, angka dan peruntukan di sektor belanja sudah jelas dan tercantum dalam APBD sehingga mudah ditelusuri.
Berbeda dari sektor pendapatan, angka tidak jelas dan sangat sulit menentukan angka pasti kerugian yang ditimbulkan.
Hal ini menjadi salah satu jalan "bermain" seperti terungkap dalam kasus Pansus Pendapatan Asli Daerah Sumut.
Menurut David, kerugian negara atau daerah akibat korupsi di sektor PBJ selama kurun waktu 2011-2016 semester satu cukup fantastis, yakni lebih dari Rp 359 miliar.
Adapun kerugian dari sektor non PBJ lebih dari Rp 343 miliar, di sektor pendapatan Rp 163 miliar lebih dan di sektor pelayanan publik Rp 9,9 miliar.
"Total kerugian akibat tindak pidana korupsi dari empat sektor ini selama enam tahun terakhir adalah Rp 876 miliar lebih. Jumlah ini merupakan nilai riil kerugian yang diakibatkan korupsi," kata dia.
Adapun jumlah potensial kerugian keuangan negara akibat kasus-kasus korupsi di empat sektor tersebut adalah sebesar Rp 5,4 triliun lebih.
Nilai ini menjadi sangat besar akibat kerugian rilil yang timbul dari kasus korupsi berdampak secara langsung pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.
Sektor-sektor teratas yang paling terdampak akibat korupsi PBJ sepanjang 2011-2016 adalah pekerjaan umum sebanyak 27 kasus dengan total kerugian Rp 136 miliar.
Di bidang kesehatan, terdapat 23 kasus dengan total kerugian Rp 117,4 miliar. Adapun sektor pendidikan sebanyak enam kasus dengan total kerugian Rp 3,6 miliar.
Semua itu sudah diungkap dan disidangkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan.
Menurut Davis, pola korupsi dalam PBJ masih modus umum yang terjadi di seluruh Indonesia.
"Belum ada cara baru untuk merampok uang negara lewat sektor PBJ. Artinya tidak ada kreativitas dan inovasi dalam korupsi," ujar David.
Pola itu dimulai dari tahapan perencanaan. Banyak terjadi lobi yang dilakukan rekanan kepada kuasa pengguna anggaran (KPA) sehingga banyak proyek PBJ tidak berbasis kebutuhan.
Masalah di panitia lelang, peserta tidak memenuhi kualifikasi, harga perkiraan sementara (HPS) bermasalah dan ada permainan harga, dan ditahap penyerahan barang dan jasa terjadi permainan mark down. Yang terakhir permasalahan tim pengawas lapangan.
"Masalah lain adalah mencincang anggaran agar terhindar dari proses lelang dan permainan penunjukan langsung yang tidak sesuai aturan. KPA juga menjadi catatan tersendiri dalam kasus PBJ, kami menemukan penentuan pemenang lelang sangat ditentukan kuasa dari bupati dan wali kota. Conflict of interest," ujarnya.
Walaupun sistemnya telah terbuka, tetapi sektor ini menjadi sektor paling rentan dikorupsi karena kurangnya pengawasan, akuntabilitas, integritas, dan pengetahuan dalam kegiatan pengadaan.
Permasalahan itu juga tidak terlepas dari peran kepala daerah yang memliki konflik kepentingan dalam proses PBJ.
"Kami menyoroti kinerja BPK RI yang senang memberikan lebel WTP. Namun faktanya, pada waktu yang bersamaan di tempat itu justru terungkap kasus korupsi," kata David.
Ia merekomendasikan solusi untuk mengatasi masalah ini, yaitu perlu revisi terhadap Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 agar memuat pencegahan konflik kepentingan.
Ia juga mendorong evaluasi terhadap metode pelatihan dan sertifikasi PBJ. Terakhir, implementasi aplikasi e-budgetinge-monitoringe-planninge-procurement, serta penguatan sistem pelayanan terpadu satu pintu.
"Serta mereformasi BPK RI dan BPKP," kata dia.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :